teknologi semen


JENIS TAMBANG

- Penambangan Terbuka (Open Pit Mining)
- Penambangan Bawah Tanah (Underground Mining)
- Penambangan dengan Auger (Auger Mining)

PEMILIHAN JENIS TAMBANG

Beberapa point penting yang harus diperhatikan untuk menentukan jenis tambang yang akan dipilih adalah sebagai berikut :

  • Stripping Ratio ( SR ) / Nisbah kupasan yang ekonomis pada saat itu
  • Teknologi
  • Lingkungan dan Amdal
  • Keahlian
  • Ketersediaan modal

METODE PENAMBANGAN

  • Direct digging / ripping
  • Direct dozing
  • Drilling dan Blasting
  • Truck dan Shovel
  • Dragline System
  • Conveying

I. Parameter pemilihan alat :

  • Kondisi tanah dan bantuan
  • Target produksi
  • Karakteristik material
  • Tebalan dan kemiringan coal / ore
  • Jarak angkut
  • Topography
  • Cuaca

II. Parameter metode penambangan :

  • Dimensi lokasi kerja
  • Urutan penambangan ( Mine sequencing )
  • Rencana produksi ( Production scheduling )
  • Lebar jalan / Ramp
  • Grade jalan
  • Lokasi awal penambangan
  • Management disposal ( In and Out Pit dumping system )

Conventional contour mining
Pada metode ini, penggalian awal dibuat sepanjang sisi bukit pada daerah dimana batu kapur tersingkap. Pemberaian lapisan tanah penutup dilakukan dengan peledakan dan pemboran atau menggunakan dozer dan ripper serta alat muat front end leader, kemudian langsung didorong dan ditimbun di daerah lereng yang lebih rendah (Gambar 1). Pengupasan dengan contour stripping akan menghasilkan jalur operasi yang bergelombang, memanjang dan menerus mengelilingi seluruh sisi bukit.

Gambar 1 Conventional Contour Mining (Anon, 1979)



Block-cut contour mining
Pada cara ini daerah penambangan dibagi menjadi blok-blok penambangan yang bertujuan untuk mengurangi timbunan tanah buangan pada saat pengupasan tanah penutup di sekitar lereng. Pada tahap awal blok 1 digali sampai batas tebing (highwall) yang diijinkan tingginya. Tanah penutup tersebut ditimbun sementara, batu kapurnya kemudian diambil. Setelah itu lapisan blok 2 digali kira-kira setengahnya dan ditimbun di blok 1. Sementara batu kapur blok 2 siap digali, maka lapisan tanah penutup blok 3 digali dan berlanjut ke siklus penggalian blok 2 dan menimbun tanah buangan pada blok awal.

Pada saat blok 1 sudah ditimbun dan diratakan kembali, maka lapisan tanah penutup blok 4 dipidahkan ke blok 2 setelah batu kapur pada blok 3 tersingkap semua. Lapisan tanah penutup blok 5 dipindahkan ke blok 3, kemudian lapisan tanah penutup blok 6 dipindahkan ke blok 4 dan seterusnya sampai selesai (Gambar 2). Penggalian beruturan ini akan mengurangi jumlah lapisan tanah penutup yang harus diangkut untuk menutup final pit.

Gambar 2 Block-Cut Contour Mining (Anon, 1979)

Haulback contour mining
Metode haulback ini (Gambar 3 dan 4) merupakan modifikasi dari konsep block-cut, yang memerlukan suatu jenis angkutan overburden, bukannya langsung menimbunnya. Jadi metode ini membutuhkan perencanaan dan operasi yang teliti untuk bisa menangani batu kapur dan overburden secara efektif.

Ada tiga jenis perlatan yang sering digunakan, yaitu :
a. Truck atau front-end loader
b. Scrapers
c. Kombinasi dari scrapers dan truck

Gambar 3 Teknik Haulback Truck dengan menggunakan Front-End Loader (Anon, 1979)

Gambar 4 Haulback dengan menggunakan kombinasi scraper dan truk (Chioronis, 1987)

Box-cut contour mining
Pada metode box-cut contour mining ini (Gambar 5) lapisan tanah penutup yang sudah digali, ditimbun pada daerah yang sudah rata di sepanjang garis singkapan hingga membentuk suatu tanggul-tanggul yang rendah yang akan membantu menyangga porsi terbesar dari tanah timbunan.

Gambar 5 Metode Box-Cut Contour Mining (Chioronis, 1987)

Mountaintop removal method
Metode mountaintop removal method ini (Gambar 6) dikenal dan berkembang cepat, khususnya di Kentucky Timur (Amerika Serikat). Dengan metode ini lapisan tanah penutup dapat terkupas seluruhnya, sehingga memungkinkan perolehan batu kapur 100%.

Gambar 6 Mountaintop Removal Method (Chioronis, 1987)

Area mining method
Metode ini diterapkan untuk menambang endapan batu kapur yang dekat permukaan pada daerah mendatar sampai agak landai. Penambangannya dimulai dari singkapan batu kapur yang mempunyai lapisan dan tanah penutup dangkal dilanjutkan ke yang lebih tebal sampai batas pit.

Terdapat tiga cara penambangan area mining method, yaitu :

Conventional area mining method
Pada cara ini, penggalian dimulai pada daerah penambangan awal sehingga penggalian lapisan tanah penutup dan penimbunannya tidak terlalu mengganggu lingkungan. Kemudian lapisan tanah penutup ini ditimbun di belakang daerah yang sudah ditambang (Gambar 7).

Gambar 7 Conventional Area Mining Method (Chioronis, 1987)

Area mining with stripping shovel
Cara ini digunakan untuk batu kapur yang terletak 10–15 m di bawah permukaan tanah. Penambangan dimulai dengan membuat bukaan berbentuk segi empat. Lapisan tanah penutup ditimbun sejajar dengan arah penggalian, pada daerah yang sedang ditambang. Penggalian sejajar ini dilakukan sampai seluruh endapan tergali (Gambar 8).

Gambar 8 Area Mining With Stripping Shovel (Chioronis, 1987)






Block area mining
Cara ini hampir sama dengan conventional area mining method, tetapi daerah penambangan dibagi menjadi beberapa blok penambangan. Cara ini terbatas untuk endapan batu kapur dengan tebal lapisan tanah penutup maksimum 12 m. Blok penggalian awal dibuat dengan bulldozer. Tanah hasil penggalian kemudian didorong pada daerah yang berdekatan dengan daerah penggalian (Gambar 9).

Gambar 9 Block Area Mining (Chioronis, 1987)

Open pit Method
Metode ini digunakan untuk endapan batu kapur yang memiliki kemiringan (dip) yang besar dan curam. Endapan batu kapur harus tebal bila lapisan tanah penutupnya cukup tebal.

Lapisan miring
Cara ini dapat diterapkan pada lapisan batu kapur yang terdiri dari satu lapisan (single seam) atau lebih (multiple seam). Pada cara ini lapisan tanah penutup yang telah dapat ditimbun di kedua sisi pada masing-masing pengupasan (Gambar 10).

Gambar 10 Open Pit Method pada lapisan miring (Hartman, 1987)

Lapisan tebal
Pada cara ini penambangan dimulai dengan melakukan pengupasan tanah penutup dan penimbunan dilakukan pada daerah yang sudah ditambang. Sebelum dimulai, harus tersedia dahulu daerah singkapan yang cukup untuk dijadikan daerah penimbunan pada operasi berikutnya (Gambar 11).
Pada cara ini, baik pada pengupasan tanah penutup maupun penggalian batu kapurnya, digunakan sistem jenjang (benching system).

Gambar 11 Open Pit Method pada lapisan tebal (Hartman, 1987)


Penambangan batu kapur bawah tanah


Metode penambangan batu kapur bawah tanah ada 2 buah yang populer, yaitu:
- Room and Pillar
- Longwall

Room and Pillar
Metode penambangan ini dicirikan dengan meninggalkan pilar-pilar batu kapur sebagai penyangga alamiah. Metode ini biasa diterapkan pada daerah dimana penurunan (subsidence) tidak diijinkan. Layout Metode Room and Pillar dapat dilihat pada Gambar 12. Penambangan ini dapat dilaksanakan secara manual maupun mekanis.

Gambar 12 Metode Room and Pillar

Longwall
Metode penambangan ini dicirikan dengan membuat panel-panel penambangan dimana ambrukan batuan atap diijinkan terjadi di belakang daerah penggalian. Layout Metode Longwall dapat dilihat pada Gambar 13. Penambangan ini juga dapat dilaksanakan secara manual maupun mekanis.

Gambar 13 Metode Longwall

Penambangan dengan Auger (Auger Mining)

Auger mining adalah sebuah metode penambangan untuk permukaan dengan dinding yang tinggi atau penemuan singkapan (outcrop recovery) dari batu kapur dengan pemboran ataupun penggalian bukaan ke dalam lapisan di antara lapisan penutup. Auger mining dilahirkan sebelum 1940-an adalah metode untuk mendapatkan batu kapur dari sisi kiri dinding tinggi setelah penambangan permukaan secara konvensional. Penambangan batu kapur dengan auger bekerja dengan prinsip skala besar drag bit rotary drill. Tanpa merusak batu kapur, auger mengekstraksi dan menaikkan batu kapur dari lubang dengan memiringkan konveyor atau pemuatan dengan menggunakan loader ke dalam truk.

Pengembangan dan persiapan daerah untuk auger mining adalah tugas yang mudah jika dilakukan bersamaan dengan pemakaian metode open cast atau open pit. Setelah kondisi dinding tinggi, auger drilling dapat ditempatkan pada lokasi. Kondisi endapan yang dapat menggunakan metode ini berdasarkan Pfleider (1973) dan Anon (1979) adalah endapan yang memiliki penyebaran yang baik dan kemiringannya mendekati horisontal, serta kedalamannya dangkal (terbatas sampai ketinggian dinding dimana auger ditempatkan, lihat Gambar 14 dan 15).

Gambar 14 Auger Mining pada lapisan batu kapur dengan kemiringan lapisan rendah (Salem Tool Inc.,1996)

Gambar 15 Auger Mining pada lapisan batu kapur dengan kemiringan lapisan curam (Salem Tool Inc.,1996)

INDUSTRI SEMEN

Pengantar

Dalam perkembangan peradaban manusia khususnya dalam hal bangunan,
tentu kerap mendengar cerita tentang kemampuan nenek moyang merekatkan
batu-batu raksasa hanya dengan mengandalkan zat putih telur, ketan atau bahan
lainnya. Alhasil, berdirilah bangunan fenomenal, seperti Candi Borobudur atau
Candi Prambanan di Indonesia ataupun jembatan di China yang menurut legenda
menggunakan ketan sebagai perekat. Ataupun menggunakan aspal alam
sebagaimana peradaban di Mahenjo Daro dan Harappa di India ataupun bangunan
kuno yang dijumpai di Pulau Buton. Benar atau tidak, cerita, legenda tadi
menunjukkan dikenalnya fungsi semen sejak zaman dahulu. Sebelum mencapai
bentuk seperti sekarang, perekat dan penguat bangunan ini awalnya merupakan
hasil percampuran batu kapur dan abu vulkanis.
Pertama kali ditemukan di zaman Kerajaan Romawi, tepatnya di Pozzuoli,
dekat teluk Napoli, Italia. Bubuk itu lantas dinamai pozzuolana. Meski sempat
populer di zamannya, nenek moyang semen made in Napoli ini tak berumur
panjang. Menyusul runtuhnya Kerajaan Romawi, sekitar abad pertengahan (tahun
1100 - 1500 M) resep ramuan pozzuolana sempat menghilang dari peredaran.
Baru pada abad ke-18 (ada juga sumber yang menyebut sekitar tahun 1700-an
M), John Smeaton - insinyur asal Inggris - menemukan kembali ramuan kuno
berkhasiat luar biasa ini. Dia membuat adonan dengan memanfaatkan campuran
batu kapur dan tanah liat saat membangun menara suar Eddystone di lepas pantai
Cornwall, Inggris. Ironisnya, bukan Smeaton yang akhirnya mematenkan proses
pembuatan cikal bakal semen ini. Adalah Joseph Aspdin, juga insinyur
berkebangsaan Inggris, pada 1824 mengurus hak paten ramuan yang kemudian
dia sebut semen portland. Dinamai begitu karena warna hasil akhir olahannya
mirip tanah liat Pulau Portland, Inggris. Hasil rekayasa Aspdin inilah yang
sekarang banyak dipajang di toko-toko bangunan. Sebenarnya, adonan Aspdin tak
beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan dua bahan utama, batu kapur
(kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang banyak mengandung silika
(sejenis mineral berbentuk pasir), aluminium oksida (alumina) serta oksida besi.
Bahan-bahan itu kemudian dihaluskan dan dipanaskan pada suhu tinggi sampai
terbentuk campuran baru.

87

com, yang artinya bersama-sama, dan crescere (tumbuh), yang maksudnya
kekuatan yang tumbuh karena adanya campuran zat tertentu.
Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang mengandung senyawa
kalsium oksida (CaO), sedangkan lempung/tanah liat adalah bahan alam yang
mengandung senyawa: silika oksida (SiO 2 ), aluminium oksida (Al 2 O 3 ), besi
oksida (Fe 2 O 3 ) dan magnesium oksida (MgO). Untuk menghasilkan semen, bahan
baku tersebut dibakar sampai meleleh, sebagian untuk membentuk clinkernya,
yang kemudian dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum) dalam jumlah
yang sesuai. Hasil akhir dari proses produksi dikemas dalam kantong/zak dengan
berat rata-rata 40 kg atau 50 kg.
Dalam pengertian umum, semen adalah suatu binder, suatu zat yang dapat
menetapkan dan mengeraskan dengan bebas, dan dapat mengikat material lain.
Abu vulkanis dan batu bata yang dihancurkan yang ditambahkan pada batu kapur
yang dibakar sebagai agen pengikat untuk memperoleh suatu pengikat hidrolik
yang selanjutnya disebut sebagai “cementum”. Semen yang digunakan dalam
konstruksi digolongkan kedalam semen hidrolik dan semen non-hidrolik.
Semen hidrolik adalah material yang menetap dan mengeras setelah
dikombinasikan dengan air, sebagai hasil dari reaksi kimia dari pencampuran
dengan air, dan setelah pembekuan, mempertahankan kekuatan dan stabilitas
bahkan dalam air. Pedoman yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pembentukan
hidrat pada reaksi dengan air segera mungkin… Kebanyakan konstruksi semen
saat ini adalah semen hidrolik dan kebanyakan didasarkan pada semen Portland,
yang dibuat dari batu kapur, mineral tanah liat tertentu, dan gypsum, pada proses
dengan temperatur yang tinggi yang menghasilkan karbon dioksida dan
berkombinasi secara kimia yang menghasilkan bahan utama menjadi senyawa
baru. Semen non-hidrolik meliputi material seperti batu kapur dan gipsum yang
harus tetap kering supaya bertambah kuat dan mempunyai komponen cair.
Contohnya adukan semen kapur yang ditetapkan hanya dengan pengeringan, dan
bertambah kuat secara lambat dengan menyerap karbon dioksida dari atmosfer
untuk membentuk kembali kalsium karbonat.
Penguatan dan pengerasan semen hidrolik disebabkan adanya
pembentukan air yang mengandung senyawa-senyawa, pembentukan sebagai hasil
reaksi antara komponen semen dengan air. Reaksi dan hasil reaksi mengarah
kepada hidrasi dan hidrat secara berturut-turut. Sebagai hasil dari reaksi awal
dengan segera, suatu pengerasan dapat diamati pada awalnya dengan sangat kecil
dan akan bertambah seiring berjalannya waktu. Setelah mencapai tahap tertentu,
titik ini diarahkan pada permulaan tahap pengerasan. Penggabungan lebih lanjut
disebut penguatan setelah mulai tahap pengerasan.

Jenis-jenis Semen
1. Semen Abu atau semen Portland adalah bubuk/bulk berwarna abu kebiru-
biruan, dibentuk dari bahan utama batu kapur/gamping berkadar kalsium
tinggi yang diolah dalam tanur yang bersuhu dan bertekanan tinggi Semen ini
biasa digunakan sebagai perekat untuk memplester. Semen ini berdasarkan
prosentase kandungan penyusunannya terdiri dari 5 tipe, yaitu tipe I sampai
tipe V.
88

2. Semen Putih (gray cement) adalah semen yang lebih murni dari semen abu
dan digunakan untuk pekerjaan penyelesaian (finishing), seperti sebagai filler
atau pengisi. Semen jenis ini dibuat dari bahan utama kalsit (calcite) limestone
murni.
3. Oil Well Cement atau semen sumur minyak adalah semen khusus yang
digunakan dalam proses pengeboran minyak bumi atau gas alam, baik di darat
maupun di lepas pantai.
4. Mixed & Fly Ash Cement adalah campuran semen abu dengan Pozzolan
buatan (fly ash). Pozzolan buatan (fly ash) merupakan hasil sampingan dari
pembakaran batubara yang mengandung amorphous silica, aluminium oksida,
besi oksida dan oksida lainnya dalam variasi jumlah. Semen ini digunakan
sebagai campuran untuk membuat beton, sehingga menjadi lebih keras.

Berdasarkan prosentase kandungan penyusunnya, semen Portland terdiri
dari 5 tipe yaitu :
1. Semen Portland tipe I
Adalah perekat hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling klinker yang
kandungan utamanya kalsium silikat dan digiling bersama-sama dengan bahan
tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal senyawa kalsium sulfat.
Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah:
55% (C 3 S); 19% (C 2 S); 10% (C 3 A); 7% (C 4 AF); 2,8% MgO; 2,9% (SO 3 );
1,0% hilang dalam pembakaran, dan 1,0% bebas CaO.
2. Semen Portland tipe II
Dipakai untuk keperluan konstruksi umum yang tidak memerlukan
persyaratan khusus terhadap panas hidrasi dan kekuatan tekan awal, dan dapat
digunakan untuk bangunan rumah pemukiman, gedung-gedung bertingkat dan
lain-lain. Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah:
51% (C 3 S); 24% (C 2 S); 6% (C 3 A); 11% (C 4 AF); 2,9% MgO; 2,5% (SO 3 );
0,8% hilang dalam pembakaran, dan 1,0% bebas CaO.
3. Semen Portland tipe III
Dipakai untuk konstruksi bangunan dari beton massa (tebal) yang memerlukan
ketahanan sulfat dan panas hidrasi sedang, misal bangunan dipinggir laut,
bangunan bekas tanah rawa, saluran irigasi , dam-dam.
Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah:
57% (C 3 S); 19% (C 2 S); 10% (C 3 A); 7% (C 4 AF); 3,0% MgO; 3,1% (SO 3 );
0,9% hilang dalam pembakaran, dan 1,3% bebas CaO.
4. Semen Portland tipe IV
Dipakai untuk konstruksi bangunan yang memerlukan kekuatan tekan tinggi
pada fase permulaan setelah pengikatan terjadi, misal untuk pembuatan jalan
beton, bangunan-bangunan bertingkat, bangunan-bangunan dalam air.
Komposisi senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah:
28% (C 3 S); 49% (C 2 S); 4% (C 3 A); 12% (C 4 AF); 1,8% MgO; 1,9% (SO 3 );
0,9% hilang dalam pembakaran, dan 0,8% bebas CaO.
5. Semen Portland tipe V
Dipakai untuk instalasi pengolahan limbah pabrik, konstruksi dalam air,
jembatan, terowongan, pelabuhan dan pembangkit tenaga nuklir. Komposisi
senyawa yang terdapat pada tipe ini adalah:
89

38% (C 3 S); 43% (C 2 S); 4% (C 3 A); 9% (C 4 AF); 1,9% MgO; 1,8% (SO 3 ); 0,9%
hilang dalam pembakaran, dan 0,8% bebas CaO.

Semakin baik mutu semen, maka semakin lama mengeras atau
membatunya jika dicampur dengan air, dengan angka-angka hidrolitas yang dapat
dihitung dengan rumus:

(% SiO 2 + % Al 2 O 3 + Fe 2 O 3 ) : (% CaO + % MgO)

Angka hodrolitas ini berkisar antara <1/1,5 (lemah) hingga >1/2 (keras
sekali). Namun demikian dalam industri semen angka hidrolitas ini harus dijaga
secara teliti untuk mendapatkan mutu yang baik dan tetap, yaitu antara 1/1,9 dan
1/2,15.

Pada pembuatan ekosemen,secara prinsip sama dengan pembuatan semen
biasa. Perbedaannya terletak pada abu insenerasi, sewage sludge, dan limbah
lainnya yang digunakan sebagai pengganti clay dan sebagian limestone. Adapun
prosesnya sebagai berikut :
1. Reprocessing
Raw material (inceneration ash dan endapan air kotor rumah tangga)
diproses terlebih dahulu, seperti dengan pengeringan (drying), crushing,
dan logam yang masih terkandung dalam raw material dipisahkan dan
didaur ulang.
2. Raw Material Drying and Pulverizing
Setelah dikeringkan, raw material dihancurkan pada raw grinding/drying
mills bersamaan dengan natural raw material.
3. Raw Material Mixing
Kemudian dimasukkan ke dalam homogenizing tank bersamaan dengan fy
ash (abu yang dihasilkan dari pembangkit listrik batubara) dan blast
furnance slag (limbah yang dihasilkan industri besi). Dua homogenizing
tank ini dimasukkan untuk memperoleh penentuan komposisi kimia yang
diinginkan.
4. Firing
Setelah itu dimasukkan ke dalam rotary kiln untuk kemudian dibakar pada
suhu diatas 1350°C. Pada proses ini, dioksin dan senyawa berbahaya
lainnya yang terkandung pada inceneration ash akan terurai dengan aman.
Gas limbah dari rotary kiln kemudian didinginkan secara cepat hingga
suhu 200°C untuk mencegah terbentuknya dioksin kembali. Pada proses
ini pula logam berat yang masih terkandung dipisahkan dan dikumpulkan
ke dalam bag filter sebagai debu yang mengandung klorin. Debu ini
kemudian dialirkan ke Heavy Metal Recovery Process. Pada proses ini,
klorin yang masih terkandung akan dihilangkan dan menghasilkan sebuah
articial ore seperti tembaga dan timbal yang kemurniaannya mencapai
35% atau lebih. Pada proses firing ini akan menghasilkan clinker yang
kemudian dikirim ke clinker tank.
5. Product Pulverizing Process
Gipsum ditambahkan bersama clinker dan campuran tersebut akan
dihancurkan pada finish mills yang kemudian akan menghasilkan produk
ekosemen.

Hingga saaat ini terdapat dua macam tipe ekosemen (berdasarkan
penambahan alkali dan kandungan klorin) yaitu tipe biasa dan tipe pengerasan
cepat. Ekosemen tipe biasa mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan semen
portland biasa. Tipe semen ini digunakan sebagai bahan campuran beton.
Sedangkan ekosemen tipe kedua memiliki kekuatan beton dan pengerasan yang
lebih cepat dibanding semen portland tipe high early strength. Ekosemen tipe ini
digunakan pada architectural block, exterior wall material, roof material, wave
dissipatingconcrete block, dll.
Yang menjadi masalah adalah kandungan Cl yang begitu tinggi pada abu
insenerasi dan logam berat yang dikandung yang dapat mengakibatkan masalah
pada sistem operasi dan mengurangi kualitas dan pengamanan material pada
96

semen. Sedangkan kandungan CaO yang masih kurang pada abu insenerasi dapat
dicukupi dengan penambahan batu kapur. Dalam pembuatan ekosemen ini, klorin
dan logamm berat yang terkandung pada abu insenerasi akan diekstrak menjadi
bijih tiruan yang kemudian didaur ulang.
Plastik vinil yang terdapat dalam sampah pada proses pembakaran akan
mengakibatkan kekuatan kronkit ekosemen akan berkurang. Hal ini diakibatkan
oleh adanya gas Cl 2 hasil penguraian plastik vinil yang dapat mempengaruhi
kekuatan konkrit ekosemen. Sehingga pemisahan sampah sangatlah penting,
khususnya sampah plastik